Nasionalisme: Perekat Bangsa atau Pemisah Dunia?
Nasionalisme, sebuah konsep yang tak pernah usang, kini kembali menjadi sorotan utama dalam lanskap berita nasional dan global. Semangat cinta tanah air dan identitas bangsa ini hadir dengan wajah ganda: sebagai perekat solidaritas, namun juga potensi pemicu friksi.
Di satu sisi, nasionalisme adalah fondasi yang kokoh bagi sebuah negara. Ia mendorong persatuan dalam menghadapi tantangan eksternal, memperkuat identitas budaya, dan membangkitkan rasa kebersamaan untuk mencapai tujuan nasional. Dalam krisis atau upaya pembangunan, semangat ini mampu menggerakkan masyarakat untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar, menegaskan kedaulatan, dan menjaga martabat bangsa di mata dunia.
Namun, sisi gelap nasionalisme juga tak bisa diabaikan. Ketika berlebihan, ia dapat berubah menjadi chauvinisme atau xenofobia, menumbuhkan kebencian terhadap bangsa lain, dan memicu proteksionisme ekonomi yang merugikan. Kita melihatnya dalam konflik perbatasan, perang dagang, atau retorika politik yang memecah belah, di mana kepentingan ‘kita’ diagungkan di atas segala-galanya, bahkan mengorbankan nilai kemanusiaan universal.
Dengan demikian, berita tentang nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar narasi tentang cinta negara, melainkan sebuah refleksi kompleks tentang bagaimana semangat ini dikelola. Mampukah kita memupuknya sebagai kekuatan pemersatu tanpa tergelincir ke dalam jurang isolasi dan konflik? Jawabannya terletak pada kebijaksanaan kita bersama dalam menyeimbangkan kebanggaan nasional dengan keterbukaan global.
