Preman pasar

Pasar Tanpa Wajah: Menguak Jerat Premanisme di Pusat Niaga

Pasar, sebagai denyut nadi ekonomi rakyat, seharusnya menjadi arena transaksi yang aman dan nyaman. Namun, di balik hiruk-pikuknya, seringkali tersimpan sisi gelap: keberadaan preman pasar. Mereka adalah figur yang beroperasi di luar hukum, menciptakan "aturan" sendiri dan mengganggu stabilitas ekosistem pasar.

Modus utama premanisme ini adalah pungutan liar berkedok "keamanan" atau "jasa" tak diminta. Pedagang dipaksa membayar sejumlah uang secara rutin, seringkali di bawah ancaman verbal atau non-verbal yang menciptakan iklim ketakutan. Penolakan berarti risiko kehilangan tempat, dagangan, atau bahkan keselamatan diri.

Dampak premanisme sangat nyata. Pedagang tercekik oleh biaya tambahan yang memangkas keuntungan mereka, bahkan tak jarang harus menaikkan harga jual barang. Konsumen pun tak luput, karena biaya ini seringkali dibebankan pada harga kebutuhan pokok, membuat beban hidup semakin berat. Lebih dari itu, citra pasar yang seharusnya menjadi pusat keramaian dan kebersamaan menjadi tercoreng oleh bayang-bayang intimidasi.

Fenomena preman pasar bukan sekadar masalah kriminalitas, melainkan tantangan serius bagi tata kelola pasar yang sehat dan perekonomian mikro. Peran aparat penegak hukum sangat krusial dalam menindak tegas pelaku, didukung partisipasi aktif masyarakat dan pedagang untuk berani melapor. Menciptakan pasar yang bebas preman berarti mengembalikan fungsi pasar sebagai arena transaksi yang adil, aman, dan berdaya saing, tempat setiap orang merasa nyaman bertransaksi tanpa bayang-bayang intimidasi.

Exit mobile version