Sengketa Tanah: Luka Lama yang Terus Menganga di Balik Pembangunan
Konflik agraria adalah isu krusial yang terus menghiasi pemberitaan di berbagai pelosok negeri. Bukan sekadar perselisihan batas lahan, ini adalah pertarungan hak atas tanah yang seringkali melibatkan masyarakat adat, petani, dan korporasi besar. Berita tentang ketegangan di lapangan, penggusuran, hingga kekerasan, menjadi potret nyata dari masalah yang tak kunjung usai.
Akar masalahnya seringkali kompleks: tumpang tindih izin konsesi, ketidakjelasan status hukum lahan, sejarah penguasaan tanah oleh masyarakat lokal yang tidak diakui negara, hingga proses perizinan yang kurang transparan. Pihak yang bersengketa umumnya adalah komunitas yang telah lama mendiami dan mengelola lahan secara turun-temurun, berhadapan dengan perusahaan perkebunan, pertambangan, atau properti yang mengklaim hak berdasarkan legalitas yang mereka miliki.
Dampak dari konflik ini sangat nyata dan menyakitkan. Masyarakat seringkali menjadi korban utama, kehilangan sumber penghidupan, terusir dari tanah leluhur, bahkan menghadapi kriminalisasi dan kekerasan saat memperjuangkan hak-hak mereka. Konflik agraria tidak hanya merugikan secara ekonomi dan sosial, tetapi juga mengikis keadilan dan memicu ketegangan yang mengancam stabilitas di tingkat lokal.
Penyelesaian konflik agraria bukan hanya tentang pengukuran tanah, tetapi juga tentang pengakuan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Pemerintah dituntut untuk mengambil peran aktif dalam mediasi yang berpihak, penegakan hukum yang adil, serta perumusan kebijakan agraria yang komprehensif, yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat lokal dan adat. Tanpa solusi yang berkelanjutan, luka agraria akan terus menganga, menghambat pembangunan yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.