Sejarah parlemen

Dari Dewan Raja ke Pilar Demokrasi: Kisah Singkat Parlemen

Pernahkah Anda bertanya bagaimana suara rakyat bisa sampai ke telinga penguasa dan menjadi undang-undang? Jawabannya terletak pada evolusi sebuah institusi kuno namun vital: parlemen. Bukan lahir dalam semalam, sejarah parlemen adalah perjalanan panjang yang merangkum perjuangan kekuasaan, keadilan, dan representasi.

Akar Kuno: Dari Penasihat Raja ke "Magna Carta"

Akar parlemen modern dapat ditelusuri ke dewan-dewan penasihat raja di Eropa abad pertengahan, seperti curia regis di Inggris atau Etats Généraux di Prancis. Raja-raja biasanya memanggil para bangsawan dan klerus (rohaniwan) untuk meminta nasihat, persetujuan untuk pajak, atau mobilisasi militer. Pertemuan ini awalnya adalah alat bagi monarki untuk mempermudah pemerintahan mereka, bukan untuk membatasi kekuasaan raja.

Tonggak penting pertama muncul pada tahun 1215 dengan penandatanganan Magna Carta di Inggris. Meskipun bukan parlemen dalam arti modern, dokumen ini membatasi kekuasaan Raja John dan menegaskan bahwa raja harus berkonsultasi dengan "dewan umum kerajaan" (yang kemudian berkembang menjadi parlemen) sebelum memungut pajak baru. Ini adalah benih awal dari gagasan bahwa kekuasaan raja tidak mutlak.

Evolusi dan Perjuangan Kekuasaan: Dua Kamar dan Suara Rakyat

Pada abad ke-13, terutama di Inggris, praktik memanggil perwakilan dari kesatria (knights) dari shires dan warga kota (burgesses) dari boroughs mulai muncul. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan lebih luas, terutama untuk pembiayaan perang. Seiring waktu, dewan-dewan ini mulai memisahkan diri menjadi dua "rumah" atau kamar: House of Lords (berisi bangsawan dan klerus) dan House of Commons (berisi perwakilan rakyat biasa).

Awalnya hanya sebagai penasihat, parlemen secara bertahap menuntut dan memperoleh kekuasaan legislatif. Abad ke-17 di Inggris menyaksikan konflik sengit antara monarki dan parlemen, yang berpuncak pada Perang Saudara Inggris dan "Revolusi Agung" tahun 1688. Hasilnya adalah pengukuhan supremasi parlemen atas raja, di mana raja tidak bisa memerintah tanpa persetujuan parlemen.

Perkembangan penting lainnya adalah perluasan hak pilih (suffrage). Selama berabad-abad, hanya kaum bangsawan pria, lalu pemilik tanah, yang memiliki hak suara. Melalui perjuangan panjang gerakan reformasi, hak pilih secara bertahap diperluas ke semua warga negara dewasa, tanpa memandang kelas, gender, atau ras, menjadikan parlemen benar-benar representatif.

Parlemen Modern: Pilar Demokrasi

Saat ini, parlemen adalah pilar utama sistem pemerintahan demokratis di seluruh dunia. Fungsinya mencakup:

  • Merumuskan dan mengesahkan undang-undang: Ini adalah tugas inti parlemen.
  • Mengawasi kinerja pemerintah: Memastikan pemerintah bekerja sesuai hukum dan melayani rakyat.
  • Menyetujui anggaran negara: Mengontrol bagaimana uang rakyat dibelanjakan.
  • Menjadi forum perdebatan: Tempat bagi berbagai suara dan kepentingan masyarakat untuk disuarakan dan diperdebatkan secara terbuka.

Bentuknya bisa bervariasi—bikameral (dua kamar) seperti di Amerika Serikat atau Indonesia, atau unikameral (satu kamar) seperti di Swedia—namun esensinya tetap sama: sebagai lembaga representatif rakyat yang menjaga keseimbangan kekuasaan dan menjamin akuntabilitas.

Dari pertemuan dewan raja yang terbatas hingga institusi kompleks yang merepresentasikan jutaan suara, sejarah parlemen adalah kisah panjang tentang perjuangan untuk kekuasaan, keadilan, dan representasi. Ia adalah bukti nyata evolusi masyarakat menuju pemerintahan yang lebih partisipatif dan akuntabel, di mana suara rakyat benar-benar menggema di koridor kekuasaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *