Identitas: Kartu AS Abadi dalam Pemilu
Dalam setiap gelaran pemilu, terlepas dari isu-isu substansial tentang ekonomi atau kebijakan, satu strategi yang hampir selalu muncul dan terbukti efektif adalah politik identitas. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada sifat dasar manusia dan kemudahan penggunaannya sebagai alat mobilisasi massa.
Pertama, manusia memiliki kebutuhan fundamental akan rasa memiliki dan pengakuan. Politik identitas memanfaatkan ini dengan menggalang dukungan berdasarkan kesamaan suku, agama, ras, gender, atau kelompok tertentu. Ia menawarkan narasi "kita" melawan "mereka", menciptakan ikatan emosional yang kuat, soliditas kelompok, dan rasa persatuan yang sulit ditandingi oleh program kerja semata. Ketika identitas merasa terancam atau diwakili, respon emosionalnya jauh lebih instan dan kuat.
Kedua, bagi politisi, politik identitas adalah senjata ampuh karena ia menyederhanakan kompleksitas isu. Alih-alih berdebat tentang program ekonomi atau kebijakan publik yang rumit dan membutuhkan pemahaman mendalam, narasi identitas lebih mudah dicerna, disebarkan, dan membakar semangat pendukung. Ia seringkali menjadi pengalih perhatian dari rekam jejak atau tawaran program yang lemah, menggeser fokus ke perbedaan primordial yang lebih mudah dieksploitasi untuk polarisasi.
Dampaknya, pemilu seringkali berubah menjadi kontestasi sentimen daripada gagasan. Polarisasi semakin mendalam, meninggalkan perpecahan yang sulit disembuhkan pasca-pemilu. Selama janji-janji berbasis identitas masih efektif dalam menggalang suara, selama itu pula ia akan terus menjadi "kartu AS" yang dimainkan oleh kontestan pemilu. Ini adalah jalan pintas menuju suara, meski seringkali harus dibayar mahal dengan kohesi sosial bangsa.